Semboyan sejarah hanya milik para
penguasa memanglah cenderung menemui kebenaran, pasalnya pihak penguasa
lebih dominan memiliki ruang dalam membuat pengaruh dan melancarkan isu
yang sesuai kepentingannya. Sehingga bukan tidak mungkin isu negatif
yang ada dalam genggaman kekuasaan seolah ditiadakan dan dibuat
seminimal mungkin penyebaran informasinya. Hal itu telah jamak terjadi
di belahan dunia manapun, termasuk di dalamnya adalah kekuasaan yang ada
di bumi Nusantara ini.
Arti anarkisme yang salah-kaprah
menjadi gambaran nyata dari pelancaran isu yang digelontorkan oleh
pihak penguasa, yaitu pihak anarkis yang berazaskan “peniadakan
kekuasaan” menjadi kambing hitam dan seolah menjadi pihak yang perlu
disalahkan akibat memiliki paham yang bersebrangan dengan penguasa.
Begitulah ironisnya.
Namun lebih dari itu, tindakan melupakan
peristiwa yang merugikan masyarakat sipil akibat penindasan kekuasaan
juga tak kalah hebatnya. Penghilangan Wartawan Udin, pembunuhan Munir,
Penculikan para aktivis, pelencengan cerita sejarah, pemasgulan
kepahlawanan dari sang penguasa, semuanya menjadi hiasan yang acap kita
lihat dan rasakan di negeri Indonesia. Oleh karenanya ada gerakan demi
mengembalikan ingatan kita, gerakan untuk jangan melupakan sejarah
sebenarnya, ialah Gerakan #MelawanLupa yang dipandegani oleh para aktivis masa kini, yang juga melancarkan gerakannya di dunia digital.
Sejarah memang harus diluruskan.
Pembenaran harus dikuak kebenarannya. Sebagaimana kepemimpinan
pemerintahan yang telah berulangkali mengalami pergantian di negeri ini.
Bahwa selain Presiden,
sejatinya kita juga telah berulangkali mengalami pergantian
kepemimpinan berujud Perdana Menteri, maka berikut kami hadirkan sekilas
profil beberapa Perdana Menteri di Indonesia yang terdiri dari perdana
Menteri Resmi dan Perdana Menteri Tidak Resmi.
Perdana Menteri Resmi
-
Sutan Sjahrir
Sutan Syahrir yang ditulis juga dengan
ejaan lama “Soetan Sjahrir” adalah putra Indonesia kelahiran Padang
Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909. Ia adalah putra dari
pasangan Mohammad Rasad dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat.
Syahrir muda menempuh pendidikan di
sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan,
selanjutnya latar pendidikan ini membuatnya betah dengan berbagai bacaan
buku-buku asing serta ratusan novel Belanda, sementara kehidupan kota
Medan mempengaruhinya untuk mengamen pada malam hari, yaitu di Hotel De
Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli) yang merupakan hotel khusus
tamu-tamu kulit putih.
Kebiasaan ngamen itu tak membuatnya
terlena, karena pada tahun 1926, ia mampu menyelesaikan pendidikannya
pula di MULO, dan selanjutnya masuk sekolah termahal milik Hindia
Belanda, yaitu Sekolah Lanjutan Atas (AMS) di Bandung. DI sekolah ini
Sutan Syahrir juga bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis)
dan berlaku sebagai sutradara, penulis skenario, dan sekaligus juga
aktor. Tak sia-sia, dari hasil pementasan teater tersebit, ia berhasil
mendirikan dan membiayai Sekolah Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya
Universitas Rakyat. Tak pelak, akibat prestasinya di seni panggung, maka
Syahrir berhasil menjadi seorang bintang, utamanya di kalangan siswa
sekolah menengah (AMS) Bandung.
Rutinitas lain yang dilakukan Syahrir
tak sebatas pada buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah, melainkan ia
juga aktif dalam klub debat di sekolah, dan menjadi aktivis dalam “aksi
pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak
mampu” tentunya masih dalam program sekolah yang didirikannya yaitu
Tjahja Volksuniversiteit.
Dari aksi sosial ini akhirnya
menghantarkan Syahrir untuk kemudian melakoni bidang politik, yaitu
tatkala para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan
kedaerahan, maka pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam
sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië
yang kemudian namanya luluh menjadi Pemuda Indonesia, sebagai salah
satu motor penggerak Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang
mencetuskan bersatunya para pemuda Indonesia dalam ikrar Sumpah Pemuda
pada 1928. Syahrir muda juga sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai
pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis.
Selepas dari AMS Bandung kemudian
Syahrir melanjutkan pendidikannya hingga ke negeri Belanda, yaitu di
Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di tempat inilah Syahrir
sungguh-sungguh mendalami teori-teori sosialisme, yang menghantarkannya
untuk akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat,
dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir.
Dalam tulisannya, Salomon Tas juga
mengenang kisah Syahrir yang acap bergabung dengan teman-teman radikal
dan lalu berkelana semakin jauh ke kiri, hingga menuju kalangan anarkis
yang mengharamkan segala hal berbau kapitalis yaitu dengan bertahan
hidup secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat
gigi. Dan demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi
pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh
Transportasi Internasional.
Pergaulan Sutan Syahrir semakin mendalam bahwa selain menceburkan diri dalam sosialisme, beliau juga rela masuk dalam Perhimpunan Indonesia (PI)
sebagai sebuah organisasi yang kala itu dipimpin Mohammad Hatta. Hingga
akhirnya tahun 1930 pemerintah Hindia Belanda semakin mengawai dan
membatasi gerak organisasi pergerakan nasional, antara lain dengan aksi
razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang juga
memiliki imbas pembubaran pada Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh
aktivis PNI sendiri. Tak pelak kekhawatiran timbul di kalangan aktivis
PI di Belanda, oleh karenanya mereka selalu menyerukan lewat tulisan
agar pergerakan jangan jadi melempem akibat pemimpinnya dipenjarakan.
Bersama Muhamad Hatta, Syahrir juga rajin menulis di majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, Daulat Rakjat, yang selalu menyampaikan misi bahwa pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
Akhir tahun 1931, Syahrir meninggalkan
kampusnya di negeri Belanda untuk kemudian kembali ke tanah air dan
terjun langsung dalam pergerakan nasional, yaitu bergabung dalam
organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) dan pada bulan Juni 1932
menjadi ketua. Pengalamannya dalam dunia proletar ia praktekkan di
tanah air, salah satunya adalah bergabungnya dalam pergerakan buruh
mampu membuat banyak tulisan tentang perburuhan yang dimuat dalam Daulat
Rakyat. Syahrir juga kerap berbicara ikhwal pergerakan buruh dalam
forum-forum politik, sehingga pada bulan Mei 1933, Syahrir didaulat
menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Pada bulan Agustus 1932, Hatta kemudian
kembali ke tanah air menyusul Syahrir untuk memimpin PNI Baru sebagai
organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Sebagaiaman analisis yang
dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan
Syahrir dalam PNI Baru ini justru lebih radikal bila dibandingkan dengan
Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Tak bisa
dipungkiri bahwa keradikalan PNI Baru ini sebanding dengan organisasi
Barat, pasalnya meskipun tanpa aksi massa dan agitasi, secara cerdas,
lamban namun pasti, PNI Baru justru mampu mendidik kader-kader
pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya. Tak pelak
hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda pada Februari 1934,
melakukan aksi penangkapan, pemenjaraan, dan juga pembuangan Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke tanah Boven – Digoel. Selanjutnya setelah hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta, Syahrir, dan kawan-kawan dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
melakukan aksi penangkapan, pemenjaraan, dan juga pembuangan Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke tanah Boven – Digoel. Selanjutnya setelah hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta, Syahrir, dan kawan-kawan dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Setelah berratus kali aktif dalam
pergerakan, karir politik Sjahrir pasca kemerdekaan dipuncaki saat ia
pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia, yaitu sejak tanggal
14 November 1945 hingga 20 Juni 1947, dan setahun kemudian ia mendirikan
Partai Sosialis Indonesia.
Saat meninggal di Zurich – Swiss dan dimakamkan di TMP Kalibata – Jakarta, Syahrir masih berposisi sebagai tawanan politik.
-
Amir Sjarifoeddin
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah
pria Medan yang lahir tanggal 27 April 1907, merupakan pemimpin sayap
kiri pada masa kolonialisme Hindia Belanda, dan juga politikus sosialis
yang pernah mengawali kepemimpinan pada awal berdirinya negeri ini.
Yaitu sebagai Perdana Menteri pada masa-masa berlangsungnya Revolusi
Nasional Indonesia
Usai menempuh pendidikan di sekolah
dasar Belanda (ELS) di Medan Agustus 1921, Amir pun berangkat ke Leiden.
Selanjutnya dalam kurun waktu 1926-1927, Amir menjadi anggota pengurus
perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, yang membuatnya aktif terlibat
pada diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).
Akibat ada permasalahan pada
keluarganya, maka pada bulan September 1927 Amir kembali ke kampung
halaman. Namun setelah itu Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia yang
membuatnya aktif kembali dalam pergerakan bersama rekan-rekannya. Hal
ini dilakukannya hingga era 1940an.
Dan jelang invasi Jepang
kepada Hindia Belanda, Amir menggalang kekuatan untuk menghancurkan
Fasisme di negeri ini hingga mengakibatnkan ia ditangkap oleh tentara
Jepang pada bulan Januari 1943.
Perjuangan dari Amir Syarifudin ini
menghantarkannya menjadi perdana Menteri sejak tanggal 3 Juli 1947
hingga 29 Januari 1948, yaitu era kabinet Amir Sjarifuddin I dan Amir
Sjarifuddin II.
-
Mohammad Hatta
Dr.(H.C) Drs. H. Mohammad Hatta adalah pria yang terlahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902, di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat).
H. Mohammad Hatta yang lebih terkenal
dengan julukan Bung Hattta adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga
Wakil Presiden Indonesia yang pertama yang sekaligus sebagai proklamator
berdirinya negara Indonesia bersama Bung Karno.
Perjuangannya sejak muda yang tak
pantang menyerah membawa karir politiknya selain sebagai Bapak Koperasi
Indonesia dan wakil presiden, juga menghantarkannya untuk menduduki
jabatan sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan
RIS. Sementara itu jabatannya sebagai wakil presiden diemban sejak pasca
kemerdekaan hingga tahun 1956, yaitu usai perselisihannya dengan dengan
Presiden Soekarno karena beda pandangan politiknya.
-
Soesanto Tirtoprodjo
Soesanto Tirtoprodjo adalah pria
kelahiran Solo, Jawa Tengah pada tahun 1900 yang merampungkan
pendidikannya dalam bidang hukum di Universitas Leiden, Belanda tahun
1925, dan kemudian berturut-turut bekerja di pengadilan Yogyakarta, Bogor, Kebumen, serta Kediri.
Pada masa pergerakan kemerdekaan
Indonesia, Soesanto bergabung dan menjadi pengurus pada Partai Indonesia
Raya di Surabaya. Namun pasca kemerdekaan, tepatnya tahun 1945 hingga
1946, Soesanto berkecimpung dalam pemerintahan sebagai Bupati Ponorogo
dan residen Madiun, selanjutnya ppada tahun 1946-1950 menjabat sebagai
Menteri Kehakiman RI.
Saat Agresi Militer Belanda II, tepatnya
tatkala Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra, Soesanto menjabat sebagai menteri
kehakiman dan penerangan Komisariat PDRI di Jawa pada 16 Mei 1949.
Sedangkan pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Soesanto memimpin Kabinet Peralihan, yang kemudian kembali menjabat
sebagai menteri kehakiman pada Kabinet Natsir. Namun pada masa itu pula,
Soesanto Tirtoprodjo menjabat sebagai Perdana Menteri, yaitu dari
tanggal 20 Desember 1949 hingga 21 Januari 1950
-
Abdul Halim
Abdoel Halim adalah pria kelahiran
Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 27 Desember 1911 yang pernah
menjadi Perdana Menteri Indonesia pada tahun 1949 era kabinet Halim
ketika Republik Indonesia menjadi bagian Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Sejak Proklamasi 1945 Abdoel Halim
menjabat sebagai Wakil Ketua BP-KNIP mendampingi Assaat yang menjabat
Ketua BP-KNIP, yaitu Badan Pekerja (BP) beranggotakan 28 orang yang
merupakan badan pelaksana pekerjaan sehari-hari dari Komite Nasional
Indonesia Pusat beranggotakan 137 orang. Sementara tahun 1948 Halim
adalah sosok yang ikut membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera Barat.
Kesibukannya dalam revolusi fisik sejak
1945 hingga 1949 tersebut membuatnya tidak pernah melakukan praktek
dokter sebagai profesi utamanya.
-
Muhammad Natsir
Mohammad Natsir yang lahir di Alahan
Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada tanggal
17 Juli 1908 selain seorang ulama, adalah juga politisi yang sekaligus
pejuang kemerdekaan Indonesia. Sebagai politisi, selain merupakan
pendiri sekaligus pemimpin partai Masyumi, ia juga pernah menjabat
sebagai menteri dan perdana menteri Indonesia. Bukan itu saja, di kancah
internasional Natsir pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir adalah putra dari pasangan
Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah yang memiliki 3 orang saudara
kandung, Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Pendidikan ditempuhnya di
Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Adabiyah di Padang, namun beberapa bulan kemudian ia pindah lagi ke HIS
Kota Solok. Di kota Solok selain belajar di HIS pada siang hari, Natsir
juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam harinya.
Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS di Padang dan pada tahun 1923 melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond. Selepas
dari MULO, ia melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung – Jawa Barat hingga lulus pada tahun 1930
Sebelum proses kelulusannya dari MULO –
Bandung, pada pertengahan tahun 1930, Natsir sempat terjun ke dunia
politik yaitu bergabung di partai politik berideologi Islam.
Di lain sisi, Natsir juga acap menulis
tentang pemikiran Islam di majalah-majalah Islam, utamanya setelah karya
tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Terhitung ada 45 buku dan
ratusan karya tulis lain yang ia hasilkan hingga akhir hayat.
Pandangannya mengenai Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia
membawanya kecewa pada perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto
terhadap Islam. Akan tetapi dari pemikiran-pemikirannya itu pula Natsir
memperoleh kepercayaan untuk diangkat sebagai perdana menteri Indonesia
kelima pada tanggal 6 September 1950. Namun karena berbeda pandangan
politik dengan Bung Karno, ia mengundurkan diri dari jabatannya pada
tanggal 26 April 1951. Bahkan karena semakin vokal menyuarakan
pentingnya peranan Islam di Indonesia, maka ia justru dipenjarakan oleh
Soekarno sebagai tahanan politiik. Pasca dibebaskannya tahun 1966,
Natsir juga pernah dicekal karena terus mengkritisi pemerintah yang saat
itu telah dipimpin Soeharto.
-
Sukiman Wirjosandjojo
Soekiman Wirjosandjojo adalah pria
Surakarta – Jawa Tengah yang terlahir tahun 1898, dan merupakan adik
dari Satiman Wirjosandjojo (tokoh pendiri Jong Java) yang pernah
memimpin kabinet yang dikenal dengan nama Kabinet Sukiman-Suwirjo.
Satiman Wirjosandjojo adalah tokoh Masyumi yang pernah menjabat sebagai
Perdana Menteri Indonesia ke-6 sejak 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
-
Wilopo
Wilopo merupakan putra Indonesia yang
lahir di Purworejo pada tanggal 21 Oktober 1909 dan juga pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-7 mulai tanggal 3 April 1952
sampai dengan 30 April 1953, serta merupakan pemimpin Kabinet Wilopo.
-
Ali Sastroamidjojo
Ali Sastroamidjojo, SH adalah tokoh
politik, pemerintahan, dan nasionali, yang terahir di Grabag, Magelang,
pada tanggal 21 Mei 1903 dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum)
dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927. Puncak karirnya
sebagai politisi diraih saat selama dua periode memegang jabatan sebagai
Perdana Menteri Indonesia ke-8, periode pertama adalah tahun 1953
hingga tahun 1955 dengan kabinetnya bernama Kabinet Ali Sastroamidjojo
I, dan 1956-1957 dengan nama Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
-
Burhanuddin Harahap
Boerhanoeddin Harahap adalah tokoh yang
terlahir di Medan – Sumatera Utara tahun 1917 yang pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-9 pada era Kabinet Burhanuddin
Harahap, yaitu antara 12 Agustus 1955 sampai 24 Maret 1956.
Hal menarik pada masa pemerintahan
Burhanuddin Harahap adalah dilaksanakannya Pemilihan Umum (Pemilu)
pertamakali di Indonesia sejak masa kemerdekaan yang juga merupakan
satu-satunya Pemilu pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno.
-
Djuanda Kartawidjaja
Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja lahir di
Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 14 Januari 1911. Merupakan
Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir yang menjabat
sejak 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu, pada masa
pemerintahan Sukarno, yaitu di abinet Kerja I, Djoeanda Kartawidjaja
menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Deklarasi Djuanda tahun 1957
adalah sumbangan terbesar pada eranya untuk menyatukan Republik ini
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi tersebut
menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara
dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau
dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum
laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS)
Namanya cukup dikenal hingga kini,
selain dipakai sebagai nama jalan di seputra komplek istana negara
Jakarta, namanya juga dikenal sebagai nama sebuah museum di Bandung. Dan
atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang di
Surabaya, maka namanya juga dikenakan pada bandara tersebut.
Perdana Menteri Tidak Resmi
Perdana Menteri Non Resmi di Indonesia
semuanya dijabat oleh Soekarno dalam tujuh periodik. Berikut adalah
daftar masa periodenya;
Mulai menjabat | Selesai menjabat | Perdana Menteri | Kabinet |
---|---|---|---|
9 Juli 1959 | 18 Februari 1960 | Soekarno | Kerja I |
18 Februari 1960 | 6 Maret 1962 | Kerja II | |
6 Maret 1962 | 13 November 1963 | Kerja III | |
13 November 1963 | 27 Agustus 1964 | Kerja IV | |
27 Agustus 1964 | 22 Februari 1966 | Dwikora I | |
22 Februari 1966 | 28 Maret 1966 | Dwikora II | |
28 Maret 1966 | 25 Juli 1966 | Dwikora III |
[
Tidak ada komentar:
Posting Komentar